Tuesday, June 03, 2008

Hwang Jin-Yi


Kategori: Korea
Sutradara: Jang Yoon-hyeon
Penulis: Kim Hyeon-jeong
Produksi: CJ Entertainment, Cine2000
Durasi: 141 Menit
Tgl. Rilis: 2007
Pemain: Yeom Jeong-Ah, Yoo Ji-Tae, Song Hye-Gyo,


Dengan menampilkan Song Hye-gyo, sekaligus keberaniannya untuk pertama kali tampil buka-bukaan, sebagai tokoh utama, ini dia salah satu film yang sempat membuat heboh Korea dan berbagai negara Asia lainnya. Bagaimana cerita lengkap dan responsnya setelah diputar ?

Setelah berkelana sekian lama untuk melihat dunia, Nom-yi akhirnya kembali ke tempat dimana ia dibesarkan : kediaman bangsawan Hwang. Ingatannya langsung kembali ke belasan tahun silam saat tumbuh bersama putri sang bangsawan bernama Jin-yi.

Begitu melihat rekan sepermainannya yang telah tumbuh besar, Nom-yi tidak rela Jin-yi dijodohkan dengan orang lain. Diam-diam, ia mendatangi calon tunangan gadis tersebut dan memberitahu tentang info yang didapatnya dari seorang wanita bernama Hyun-geum : Jin-yi ternyata anak haram dari bangsawan Hwang hasil perkosaan dengan dayang bernama Hyun-geum.

Sementara itu, Jin-yi yang teringat akan masa lalu memutuskan untuk menyelinap ke pasar malam dan nyaris saja dikerjai orang kalau saja Nom-yi tidak muncul. Saat kembali, ia melihat adik kandungnya nyaris memperkosa pelayan kesayangannya Yi-geum. Keruan saja, gadis itu tidak terima dan mengadu pada sang ibu, yang justru membeberkan hal yang membuatnya sangat terpukul.

Bisa dibayangkan, bagaimana hancurnya perasaan Jin-yi terutama setelah diberi tahu bahwa prosesi pemakaman yang sempat disaksikannya saat pulang adalah untuk ibunya yang sudah tidak tertolong lagi. Dari situ, tekadnya untuk menundukkan dunia dan kaum laki-laki mulai berkobar.

Seperti yang bisa ditebak, kehidupan sebagai gisaeng bukanlah hal mudah terutama saat rekan-rekan seprofesi mencibir kehadiran Jin-yi yang sebelumnya hidup di kalangan aristokrat. Nom-yi yang selalu berada disamping gadis itu akhirnya tidak tahan lagi dan dengan perasaan bersalah, memutuskan menghilang dari kehidupan Jin-yi.

Lima tahun kemudian, Jin-yi telah menjadi gisaeng papan atas dengan nama Myung-wol dan bekerja sebagai kaki tangan pejabat Han-yang untuk menaklukkan musuh-musuhnya. Sementara itu, Nom-yi dikenal sebagai penjahat budiman yang kerap membagi-bagikan hasil jarahannya pada rakyat yang menderita.

Dasar nasib, Jin-yi alias Myung-wol kembali bertemu Nom-yi saat pria itu terluka akibat panah serdadu. Tidak segan berkorban demi pria yang dicintai, Myung-wol menyerahkan dirinya pada pejabat demi membebaskan Gae-tong, pengawal sekaligus mantan orang kepercayaan Nom-yi yang baru saja dinikahkan dengan Yi-geum, yang dituding terlibat konspirasi.

Namun takdir berkata lain, Nom-yi yang tidak tahu akan pengorbanan Jin-yi menyerahkan diri kepada petugas. Dengan sisa waktu yang semakin sempit, gadis itu mendatangi penjara dan memberikan penjamuan terakhir bagi Nom-yi, pria yang dicintainya yang bakal menjalani hukuman gantung.

Digarap dengan bujet cukup besar ditambah deretan artis papan atas (termasuk Yeom Jeong-ah yang tampil sekilas sebagai Hyun-geum), tidak salah bila Hwang Jin-Yi disebut sebagai salah satu film paling dinanti di tahun 2007.

Apalagi, kisah tentang gisaeng yang konon hidup di abad 18 itu menghadirkan Song Hye-gyo yang sebelumnya lebih dikenal sebagai bintang televisi lewat serial Full House. Sebagai pasangan, hadir aktor watak Yoo Ji-tae.

Sayang meski di pekan pertama meraup pendapatan menggiurkan, Hwang Jin-Yi tidak mampu berbuat banyak saat diputar serentak di Korea. Banyak yang menyebut, akting Hye-gyo kurang meyakinkan dan kalah cemerlang dibanding Ha Ji-won yang tampil di versi serialnya.

Namun bila dilihat lebih jauh, tentu saja perbandingan itu tidak adil mengingat versi filmnya berdurasi jauh lebih singkat sehingga tidak mudah untuk melakukan penggalian karakter. Untuk lebih jelasnya, mungkin And perlu saksikan sendiri sebelum menilai. Apalagi, kisah cinta yang tragis merupakan salah satu resep laris-tidaknya film di kalangan wanita, bukan begitu??????(mdL/dramasia/lautanindonesia)

Tuesday, March 11, 2008

Tinton Suprapto : ''Titiskan Darah Pembalap''


Tinton Suprapto. Namanya sangat identik dengan dunia otomotif. Siapapun tahu kalau Tinton yang mantan pembalap nasional, telah mengukir banyak prestasi di arena balap mobil sejak ia masih remaja.

Sebelum terjun ke balap mobil, Tinton juga mengikuti berbagai kejuaraan sepeda motor, tepatnya tahun 1962 tapi saat itu ia masih kalah. Baru tahun 1963 Tinton mengikuti Indonesia Grand Prix dan memenangkan kejuaraan tersebut. Ia masih ingat sekali waktu menang dalam balap sepeda motor, Rima Melati kecil yang mengalungkan bunga untuknya. Tahun 1969 mengikuti PON di balap mobil lalu bertemu dengan istri pertama (Marini). Sayang, pernikahan Pertamanya hanya bertahan tiga tahun, lalu Tinton bertemu dengan istri kedua dan ketiganya masing-masing Pingky dan Dewi Anggraini.

Dari ketiga pernikahan ini, Tinton Suprapto memiliki empat anak (Rama, Tania, Ananda dan Moreno). Ananda Mikola dan Moreno, anak Tinton dari Dewi Anggraini atau panggilan akrabnya Mince-lah yang kini meneruskan jejak Tinton di balap mobil. "..Kasian Papa..," ini kalimat Ananda yang ditulis untuk ayahnya yang sudah tidak cukup fit lagi untuk meraih juara di balap mobil. Oleh Tinton tulisan itu dibingkai dan dipajang di ruang kerja.

Tinton Suprapto sudah mengeluarkan dua buah buku otobiografi, masing-masing berjudul 'Melangkah Pantang Menyerah' dan 'Dari balap ke balap'. Selain balap motor dan mobil, anda pasti tidak menduga ternyata masih banyak olahraga lain yang digeluti oleh Tinton. Misalnya voli, balap sepeda dan tinju. Namun olahraga Tinju, mendapat perhatian yang lebih khusus oleh Tinton. Kenapa dan sejak kapan olahraga tinju ini dilirik oleh Tinton Suprapto ?

Ceplas Ceplos dan Keras
Kamar kerja Tinton Suprapto di lantai tiga Sirkuit Sentul Bogor sebenarnya lebih pantas disebut ruang dokumentasi. Jika dibanding dengan kamar kerja di bagian lain, kamar kerja direktur PT. Sarana Sirkuitindo Utama ini lebih dipenuhi dengan koleksi ratusan foto-foto, puluhan replika mobil balap dan piala, ratusan medali dan piagam penghargaan. Semuanya di jejer rapi di atas lemari yang tersusun berbentuk letter U. Begitu banyaknya, sampai nyaris tidak ada lagi tempat yang tersisa.

Hampir semua perjalanan hidupnya mulai dari foto-foto ayahnya (alm Mayjen Soejatmo) masih aktif di militer, foto masa kecilnya bersama keluarga Bung Karno, fotonya bersama pejabat negara, fotonya bersama anak-anak, fotonya bersama dengan wanita yang cintainya dan fotonya bersama teman-teman balap mobil lengkap di pajang, bahkan foto Ananda Mikola dan Moreno bersama pacar mereka masing-masing juga ada.

Mantan pembalap kelahiran Blitar 21 Mei 1945 ini, gaya bicaranya suka ceplas ceplos. Terkesan ia tidak pernah memikirkan apa yang akan diucapkannya. Semua mengalir begitu saja dari mulutnya, seakan ia ingin mengeluarkan semua kata-kata yang ada di kepalanya. Orangnya terbuka dan cepat akrab. Tinton cenderung bicara agak keras. Tinton bukannya tidak menyadari kebiasaannya itu. Tapi ia menyebut kebiasaannya -bicara dengan nada keras- sebagai 'Management By Angry'.

"Hobi saya dari dulu olahraga keras..salah satunya tinju. Dulu itu hidup saya tertekan karena ayah saya militer. Semua pendidikan dan kehidupan kami serba keras dan sulit,..." ujar Tinton yang katanya waktu itu tidak bisa protes ke orangtua. Makanya ia terpaksa menyalurkan gejolak jiwanya yang tidak puas dan gelisah lewat olahraga keras. " Melalui tinju, saya bisa menyalurkan agresivitas saya yang meledak-ledak, walaupun hanya menjadi motivator," papar Tinton.

Tinton masuk ke lingkungan tinju pada tahun 1985. Waktu itu ia ikut promotor Boy Bolang dan Dali Sofari yang mengadakan kejuaraan dunia kelas bantam junior IBF antara juara bertahan Judo Chun dari Korsel melawan Ellyas pical dari Indonesia. "Saya cuma bantu ngatur-ngatur di kepanitiaan sebagai humas. Eh lama-lama makin serius dan jadi promotor pertandingan lagi,..." katanya sambil ketawa. Tahun 1987 Tinton diakui sebagai promotor dan pemilik lisensi WBC. Lalu ia banyak menggelar tinju profesional ke pelosok desa, hotel berbintang, Gunung Bromo, di atas kolam renang dan LP Cipinang Jakarta.

Ia bukan sekedar mempertontonkan adu jotos dengan tiket mahal, tapi juga berusaha mengajak penggemar tinju ke suasana yang lain. Seperti menyediakan makan malam dengan tontonan musik bersama Euis Darliah dengan menu utama pertandingan Little Pono melawan Little Baquio atau pertandingan di lautan pasir Gunung Bromo. Penontonnya berkerudung sarung dan peci sedangkan girl roundnya memakai sandal jepit dibungkus pakaian tebal dari leher sampai tumit. "Belum pernah kan, ada orang lain yang punya ide gila seperti saya ?" tanya Tinton meminta persetujuan.

Darah Pembalap
Tinton memang lebih puas hanya menjadi motivator di tinju. Ia mengaku sering berkelahi dengan teman-temannya dan memiliki tato, salah satunya di pergelangan tangan. Tato itu dibuatnya tahun 1959. Begitu besar perhatiannya terhadap Tinju sampai-sampai Tinton membuat sasana TONSCO dan menjadi manajer di tempat itu. Setelah sibuk membimbing Ananda di balap mobil F1, pelan-pelan Tinton meninggalkan tinju dan menarik pekerjanya ke Sentul.

Mantan pembalap yang memilih orangtua sebagai tokoh yang dikaguminya ini mengaku tidak pernah memperlakukan anaknya dengan keras. Ia lebih memilih mendidik anak dengan bahasa batin dan suatu kebersamaan." Dari perjalanan hidup sehari-hari, prinsip itu saya peroleh," kata Tinton bangkit dari tempat duduk ingin menunjukkan fotonya bersama anak-anak dan keluarga di berbagai acara.

"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya" benar-benar tergambar dalam hubungan Tinton dengan dua anaknya, Ananda dan Moreno. Kedua anak laki-lakinya itu juga berprofesi sebagai pembalap. Yang berbeda mungkin, sekarang Ananda dan Moreno menekuni olah raga balap dengan fasilitas yang sudah tersedia. Tinton menyediakan fasilitas setelah melihat potensi terpendam kedua putranya. Sementara kesamaan bapak - anak ini adalah sama-sama berdisiplin tinggi, berkemauan keras, cepat tanggap terhadap berbagai persoalan dan humoris.(Ijs/Ic)


http://www.indosiar.com/news/profil/68555_tinton-suprapto--titiskan-darah-pembalap

Friday, February 08, 2008

Hans Jaladara : Asa Sang Panji Tengkorak


Seorang pendekar bertopeng tengkorak, mengembara dengan menyeret peti mati. Itulah sosok Sang Panji yang pernah menjadi bagian dari industri komik lokal yang pernah berjaya di era akhir tahun 60-an hingga awal 70-an.

Panji Tengkorak pun difilmkan pada 1971. Tahun 1990-an, Panji Tengkorak kembali diangkat dalam layar kaca.

Panji Tengkorak merupakan masterpiece Hans Jaladara, sang tokoh penciptanya. Hans termasuk salah satu dari "tujuh pendekar komik" Indonesia di masanya selain Jan Mintaraga, Ganes Th, Sim, Zaldy, Djair, dan Teguh Santosa. Di antara para "pendekar" itu, kini tinggal Hans dan Djair yang masih hidup.

Hans Jaladara, lelaki kelahiran Yogyakarta, 57 tahun lalu, pertama kali membuat komik jenis drama ?Hanya Kemarin? pada tahun 1966. Atas inisiatif sebuah penerbit, yang memesan kepada Hans untuk membuat komik serupa Si Buta Dari Gua Hantu-nya Ganes TH yang waktu itu tengah merajalela di jagat penggemar komik, Hans pun membuat komik Panji Tengkorak yang beredar di pasaran sekitar tahun 1968 hingga beberapa tahun kemudian.

Hans tak pernah menduga, jika Panji Tengkorak yang terdiri dari 5 jilid itu, ternyata sukses besar dipasaran. Ia pun ikut merasakan masa kejayaan komik lokal. Selain namanya populer, duit mengalir.

Hans Jaladara, yang bernama asli Hans Rianto, yang besar di Jakarta ini merupakan anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Linggodigdo. Nama Jaladara baru dipakai Hans pada awal 1970-an karena ada peniru dengan nama Han, tanpa huruf S. Jaladara diambil dari tokoh komik wayang karya Ardi Soma, yaitu Wiku Paksi Jaladara.

Kebiasaan membaca, termasuk komik, merangsang Hans untuk berimajinasi, merangkai-rangkai cerita. Gerakan silat dalam komik Hans, merupakan aktualisasi dari ilmu yang diperolehnya saat belajar kungfu di perguruan Cheng Bu di kawasan Mangga Besar dan judo pada Tjoa Kek Tiong.

Sekitar tahun 1975 hingga 80-an, dunia perkomikan Indonesia mengalami kemerosotan seiring dengan membanjirnya komik-komik impor yang telah diterjemahkan. Ditahun-tahun sulit itu, Hans masih bertahan dan sempat menerbitkan Pandu Wilantara dan Durjana Pemetik Bunga.

Tak banyak yang bisa diperbuat Hans. Apalagi minimnya penghargaan bagi komikus untuk saat ini dan sulitnya menembus pasar komik terjemahan menjadi penyebab adanya keengganan dikalangan komikus lama untuk berkarya.

Semangatnya berkomik mulai bangkit kembali, ketika ada tawaran untuk memproduksi kembali Panji Tengkorak versi 2 pada tahun 84. Menyusul kemudian versi 3, tahun 96, yang mengalami perubahan mencolok pada segi gambar.

Tahun 1990, Hans menggeluti dunia seni lukis dan beberapa kali mengikuti pameran. Beberapa lukisannya kini masih terpajang di rumah. Hans mengaku terlambat membuat lukisan, setidaknya jika diukur dari masa boom lukisan. Melukis dan mengajar, adalah jalan keluar yang hingga kini masih ia tekuni, agar hobi menggambarnya ini tetap tersalurkan.

Hans Jaladara, kini tengah menggambar ulang Walet Merah, karyanya yang lain. Ia pun tengah mempersiapkan 5 jilid kelanjutannya. Menggambar, membuat komik, rupanya sudah menjadi jalan hidup bagi Hans. Kedua putrinya, bahkan berhasil ia sekolahkan hingga perguruan tinggi dari penghasilan berkomik.

Dunia komik, telah menjadi bagian dari hidupnya. Karena itu ia tak rela, jika komik lokal tergusur dengan kehadiran komik impor. Ia masih menaruh harapan besar, suatu hari kelak, komik lokal kembali berjaya di negerinya sendiri.(Ijs)