Saturday, August 27, 2005

Ibu Nuri : Bangkitkan Kembali Jiwa Kebangsaan


"Jangan salahkan jika generasi penerus sekarang ini kurang menghargai para pahlawannya. Ini terjadi karena bangsa ini tidak didik untuk menghargai apa yang telah dilakukan oleh para pejuang dalam memperoleh kemerdekaan".

Meski telah memasuki usia 70 tahun, namun sosoknya tidak rapuh ditelan usia. Ia masih tetap aktif, lincah, gaya bicaranya lancar dan teratur, bahkan runut menceritakan segala yang pernah dialaminya di medan perjuangan. Wanita itu adalah Ibu Nuri, salah seorang anggota Korps Wanita Veteran yang kini sibuk dengan kelompok taman bermain yang didirikan dirumahnya di daerah Seroja, Pondok Ungu, Bekasi Utara.

"Kebetulan rumah yang saya tempati ini memiliki beberapa ruangan kosong, yang sayang kalau tidak dimanfaatkan. Saya lalu memberikan ide kepada beberapa orang yang tinggal di komplek ini agar mendirikan sebuah kelompok bermain, agar anak-anak balita disini dapat bersekolah tanpa harus mengeluarkan biaya mahal dan ongkos", jelas Ibu Nuri saat disambangi indosiar.com dirumahnya beberapa waktu lalu.

Terlihat ruangan tersebut telah disulap menjadi tempat belajar mengajar yang tenang. Pernak-pernik taman belajar menghiasi ruangan tersebut. "Saya cinta anak-anak. Rasanya senang sekali kalau melihat mereka belajar dengan bersemangat. Semangat itu pula yang membuat saya ikut berjuang dalam masa-masa kemerdekaan Indonesia," tuturnya.

Yah, Ibu Nuri pernah mengalami masa-masa perjuangan. Jiwa patriotismenya tumbuh pada saat ia masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). "Waktu itu setahun setelah Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, situasi negara belum normal dan masih banyak terjadi peperangan disana sini. Saat itu Belanda kan belum sepenuhnya hengkang dari negara kita. Saat itu saya masih SMP di Yogyakarta, remaja yang kata orang penuh dengan gejolak jiwa muda. Kalau mendengar pidato Bung Karno itu, rasanya hati ini seperti terbakar jiwanya. Berkobar-kobar. Dan kepingin ikut terjun ke medan perjuangan," cerita Ibu Nuri mengenang masa lalu.

"Apalagi saat itu, sekolah sering libur karena guru-gurunya ikut berjuang. Dan kalau lihat orang-orang yang pulang dari medan perjuangan, ada rasa iri melihat mereka berjalan dengan gagahnya. Dari situ saya mulai sering ikut pertemuan kawan-kawan di Prajurit Pelajar Indonesia dan akhirnya bergabung. Saat itu kami sering dilatih oleh prajurit dari Grup Batalyon 10 Yogyakarta, yang kala itu pimpinannya adalah Pak Harto (mantan Presiden Soeharto, red)".

"Kami dilatih cara melempar granat, mengangkat senjata, membalut luka, mengobati luka, dan pelajaran peperangan lainnya. Yang saya tak lupa, saat belajar itu kami sering menyanyi seperti ini, "Inggris kita linggis. Belanda kita setrika...he....he... Pokoknya saat itu memang dikobarkan rasa nasionalisme yang tinggi dan dari diri kita sendiri ada rasa pengen perang," lanjutnya.

Nuri muda memang sangat menikmati keikutsertaannya sebagai prajurit bela negara. Salah satu kenangan tak terlupakan adalah pada tahun 1949 saat pendudukan Belanda, dimana Yogyakarta yang menjadi ibukota RI dirampas oleh Belanda dan diduduki selama 6 jam.

"Selama 6 jam pendudukan Belanda itu, rasanya kemarahan berkobar didalam hati kami. Rasa kebangsaan dan kebanggaan kami sebagai bangsa Indonesia merasa terkoyak dan terhina. Kami pun diberangkatkan dari basis gerilya. Waktu itu saya di Yogya Barat, tempat latihan taruna Akmil. Lalu disitu didirikan front-front. Kantor Wehr Kreisse militer. Saya saat itu di Wehr Kreisse 103, dibawah pimpinan Letnan Sudarto, didaerah Kulon Progo".

"Tugas saya waktu itu adalah mengantarkan barang ke kota. Terpilihnya orang-orang muda seperti saya sebagai kurir, karena menurut mereka wajah-wajah kami belum terlihat seperti pejuang. Masih polos jadi dianggap aman untuk keluar dari markas. Saat itu saya sering mengantar barang yang isinya tidak diberi tahukan kepada saya. Nah yang saya ingat waktu itu saya sering pergi kerumah yang dekat penjara Wirogunan, yang ternyata setelah beberapa lama baru saya ketahui rumah tersebut adalah rumah Pak Harto dan wanita yang kerap saya temui adalah Ibu Tien".

Dalam kenangan Bu Nuri, saat itu dalam kelompoknya banyak tokoh-tokoh yang sukses dikemudian harinya, seperti Nolly Tjokropranolo, almarhum Soepardjo Rustam, Susilo Sudarman, dan masih banyak lagi.

Setelah Indonesia lepas dari Belanda, ternyata keadaan belum sepenuhnya normal. Didalam negeri sendiri terjadi masa-masa genting. Menamatkan sekolahnya, ternyata Bu Nuri pernah merasakan menjadi wartawati. Bagaimana ia bisa menekuni dunia jurnalistik ?

"Setelah Belanda hengkang dari Indonesia, kami para prajurit pun kembali ke kehidupan normal. Waktu itu Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX memberikan kesempatan kepada kami untuk kembali meneruskan sekolah. Saya pun meneruskan sekolah SMA. Setelah tamat saya bekerja di RRI Solo, di bagian pemberitaan. Disanalah saya belajar seluk beluk tulis menulis. Jadi sedikit-sedikit saya bisa nulis nih...he...he," ucap Bu Nuri sambil tertawa kecil.

"Dari tahun 1956 sampai 57 saya bekerja disana. Lalu dipindahkan ke Banjarmasin. Nah disana saya mengalami peristiwa RRI Permesta, PKI Muso, Pengeboman di Maguwo. Saat peristiwa RRI Permesta itu kami yang di Balikpapan dipulangkan ke Jakarta. Lalu terjadilah peristiwa G 30 S PKI yang mengubah segalanya," urainya penuh haru.

Masa perjuangan memang selalu indah untuk dikenang. Karena itu, jika menyaksikan film-film perang Bu Nuri selalu terkenang akan masa "kejayaannya". "Mungkin saya ini aneh yah. Saya itu suka sekali dengan film-film perang, rasanya seperti mengenang masa-masa kejayaannya saya yang lalu..ha...ha..".

Hidup di tiga jaman, bagi Nuri merupakan karunia tersendiri. Karena itulah ia selalu mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Esa, meski penghargaan yang diterimanya dari pemerintah bisa dikatakan kurang. "Saat ini saya tergabung dalam Korps Wanita Veteran. Yang berdasarkan surat keputusan dari Menteri Pertahanan kami itu memperoleh tunjangan. Tunjangan itu berdasarkan golongan-golongan. Golongan A itu paling tinggi, lalu B, C, D, dan E. Saya golongan D dengan tunjangan sekitar Rp 500 ribu perbulan sementara golongan E yang paling rendah tunjangannya".

"Tapi, itu sudah alhamdulillah, karena nganggur begini dikasih duit...he....he.. Tapi itu kan karena saya sekarang hidup sendiri, bagaimana yang masih mempunyai tanggungan keluarga, kasihan juga kan. Yah mau bilang bagaimana lagi, mungkin baru seperti itu penghargaan yang bisa diberikan kepada para mantan pejuang", tuturnya.

Saat ditanya mengenai bagaimana sikapnya melihat kurangnya perhatian dan penghargaan generasi penerus bangsa terhadap para pejuang, Ibu Nuri menyatakan tidak bisa sepenuhnya menyalahkan para generasi penerus. Karena itu merupakan akibat yang harus diterima dari hasil pengajaran dan didikan para orang tua yang bisa jadi merupakan juga para pejuang.

"Kenapa mereka tidak bisa menghargai para pahlawan. Karena dengan dalih supaya anak cucu tidak merasakan pahitnya kehidupan yang dulu dijalani, maka para pejuang yang sudah punya jabatan alih-alih tidak mengajarkan keprihatinan kepada anak cucunya. Duh, jangan sampai mereka merasakan apa yang pernah kami alami, seperti itu perasaan mereka. Itu memang bagus, tetapi itu tidak diimbangi dengan penjelasan bagaimana reksonya bapak ibu mereka dulu".

"Betapa untuk mencapai segala hal yang indah-indah ini penuh dengan perjuangan. Mereka sepertinya merasa bangga kalau anak lebih dari mereka. Karena itu mereka pun berbondong-bondong menyuguhkan anak-anak dengan segala hal yang modern dan berbau-bau barat. Disekolahkan setinggi-tinggi diluar negeri, tapi tidak ditanamkan jiwa nasionalismenya. Jadi jangan salahkan mereka, kalau mereka tidak mau kembali ke Indonesia membangun negaranya".

"Dan sayangnya, rasa ini banyak ditemui di kota-kota besar. Coba kalau kedesa-desa, anak-anak itu merasa bangga mempunyai bapak ibu seorang pejuang. Rasanya perlu sekali membangkitkan kembali jiwa kebangsaan bagi rakyat Indonesia. Sekarang ini sudah 60 tahun Indonesia merasakan kemerdekaannya. Kalau tidak ditanamkan jiwa kebangsaan dan persatuan mau jadi apa bangsa kita ini ?", tanya Bu Nuri.

Itulah harapan Bu Nuri, menanamkan rasa kebangsaan dan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia, seperti yang ia remaja dulu sehingga rela mengangkat senjata. Rasa kebangsaan, kebanggaan dan persatuan Indonesia, memang diperlukan saat ini, apalagi setahun terakhir Indonesia kerap ditimpa musibah.(Indah JKS)

ps : dimuat di rubrik profil http://news.indosiar.com pada tanggal 26 Agustus 2006

Friday, August 05, 2005

Gus Dur Ingin Demokrasi Tegak di Indonesia

indosiar.com, Jakarta - Bertempat dikediamannya Jl. Warung Sila No. 10 Ciganjur Jagakarsa, Jakarta Selatan, r KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merayakan ulang tahunnya, Kamis (04/08/2005) malam bersama sejumlah tokoh lintas agama.

Dalam kesempatan tersebut, mantan Ketua Umum PBNU ini menyatakan keinginannya untuk menyaksikan demokrasi tegak di Indonesia. “Bangsa dan negara kita di bangun atas dasar demokrasi. Mudah-mudahan, di sisa umur saya, saya dapat melihat demokrasi tegak di negara kita” kata Gus Dur dalam sambutannya, yang diterima indosiar.com.

Penegakkan demokrasi bukanlah pekerjaan mudah, Gus Dur sudah merasakan sendiri bagaimana rintangan dan hambatan yang harus dihadapi. “Karena itu, saya puas karena apa yang saya jalankan ini pelan-pelan mulai kelihatan hasilnya. Meskipun banyak gangguan, tapi itu adalah hal yang biasa”, lanjut Gus Dur, yang juga mengakui bahwa demokrasi telah menjadi bagian dari hidupnya.

Gus Dur juga menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada komunitas lintas agama yang telah menyelenggarakan perayaan ultahnya.

Selain keluarga besar Gus Dur, hadir dalam perayaan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, Amir Ahmadiyah Abdul Basith, Muslim Abdurrahman, , Dr. KH Said Agil Siradj, Dr. Syafi’i Anwar, Anand Krisna, Dawam Rahardjo, Todung Mulya Lubis, Lies Marcus Natsir, Shalahuddin Wahid, Farha Ciciek, Mahfud MD, Budiman Sujatmiko, Rieke Dyah Pitaloka, Bambang Harymurti dan lain-lain.

Acara ini juga dirangkai dengan penyampaian orasi dari sejumlah teman dan sahabat Gus Dur, dilanjutkan dengan doa bersama lintas agama dan pembacaan petisi warga Negara Indonesia oleh Ulil Absor Abdalla.

Dalam kesempatan orasi, beberapa tokoh menyampaikan rasa kagumnya terhadap komitmen dan keteguhan Gus Dur dalam memperjuangkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. “Yang saya senangi dari Gus Dur, komitmen moralnya tinggi, namun lebih dari itu, komitmen terhadap penegakan kebenaran, penegakan keadilan, membela kaum yang lemah, saya kira di zaman seperti sekarang ini sulit untuk mencari orang seperti Gus Dur” kata Muslim Abdurrahman.

Sementara itu Todung Mulya Lubis melihat bahwa Gus Dur adalah sosok guru bangsa, “Dimanapun ia berada, Gus Dur selalu berbicara tentang pluralisme dan kemajemukan, ia adalah guru bangsa dan penjaga moral. Dan sebagai penjaga moral, ia punya tempat tersendiri dihati rakyat Indonesia yang tidak bisa digantikan oleh orang lain” ungkapnya.

Ada juga do’a bersama yang dipimpin tokoh-tokoh lintas agama seperti dari Islam KH Said Aqil Siradj, dari Protestan Pdt Wainata Sairin, dari Katolik Rm. Padmo, dari Budha Biku Dharma Himala, dari Hindu Nengah Dane, dari Kong Hu Chu Chandra Setiawan, dan dari penganut agama Sunda Wiwitan Pangeran Jati Kusuma.(*/Idh)