apa yang dirasa, dicerna, dan diilhami, setelah membaca buku.
Friday, February 08, 2008
Hans Jaladara : Asa Sang Panji Tengkorak
Seorang pendekar bertopeng tengkorak, mengembara dengan menyeret peti mati. Itulah sosok Sang Panji yang pernah menjadi bagian dari industri komik lokal yang pernah berjaya di era akhir tahun 60-an hingga awal 70-an.
Panji Tengkorak pun difilmkan pada 1971. Tahun 1990-an, Panji Tengkorak kembali diangkat dalam layar kaca.
Panji Tengkorak merupakan masterpiece Hans Jaladara, sang tokoh penciptanya. Hans termasuk salah satu dari "tujuh pendekar komik" Indonesia di masanya selain Jan Mintaraga, Ganes Th, Sim, Zaldy, Djair, dan Teguh Santosa. Di antara para "pendekar" itu, kini tinggal Hans dan Djair yang masih hidup.
Hans Jaladara, lelaki kelahiran Yogyakarta, 57 tahun lalu, pertama kali membuat komik jenis drama ?Hanya Kemarin? pada tahun 1966. Atas inisiatif sebuah penerbit, yang memesan kepada Hans untuk membuat komik serupa Si Buta Dari Gua Hantu-nya Ganes TH yang waktu itu tengah merajalela di jagat penggemar komik, Hans pun membuat komik Panji Tengkorak yang beredar di pasaran sekitar tahun 1968 hingga beberapa tahun kemudian.
Hans tak pernah menduga, jika Panji Tengkorak yang terdiri dari 5 jilid itu, ternyata sukses besar dipasaran. Ia pun ikut merasakan masa kejayaan komik lokal. Selain namanya populer, duit mengalir.
Hans Jaladara, yang bernama asli Hans Rianto, yang besar di Jakarta ini merupakan anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Linggodigdo. Nama Jaladara baru dipakai Hans pada awal 1970-an karena ada peniru dengan nama Han, tanpa huruf S. Jaladara diambil dari tokoh komik wayang karya Ardi Soma, yaitu Wiku Paksi Jaladara.
Kebiasaan membaca, termasuk komik, merangsang Hans untuk berimajinasi, merangkai-rangkai cerita. Gerakan silat dalam komik Hans, merupakan aktualisasi dari ilmu yang diperolehnya saat belajar kungfu di perguruan Cheng Bu di kawasan Mangga Besar dan judo pada Tjoa Kek Tiong.
Sekitar tahun 1975 hingga 80-an, dunia perkomikan Indonesia mengalami kemerosotan seiring dengan membanjirnya komik-komik impor yang telah diterjemahkan. Ditahun-tahun sulit itu, Hans masih bertahan dan sempat menerbitkan Pandu Wilantara dan Durjana Pemetik Bunga.
Tak banyak yang bisa diperbuat Hans. Apalagi minimnya penghargaan bagi komikus untuk saat ini dan sulitnya menembus pasar komik terjemahan menjadi penyebab adanya keengganan dikalangan komikus lama untuk berkarya.
Semangatnya berkomik mulai bangkit kembali, ketika ada tawaran untuk memproduksi kembali Panji Tengkorak versi 2 pada tahun 84. Menyusul kemudian versi 3, tahun 96, yang mengalami perubahan mencolok pada segi gambar.
Tahun 1990, Hans menggeluti dunia seni lukis dan beberapa kali mengikuti pameran. Beberapa lukisannya kini masih terpajang di rumah. Hans mengaku terlambat membuat lukisan, setidaknya jika diukur dari masa boom lukisan. Melukis dan mengajar, adalah jalan keluar yang hingga kini masih ia tekuni, agar hobi menggambarnya ini tetap tersalurkan.
Hans Jaladara, kini tengah menggambar ulang Walet Merah, karyanya yang lain. Ia pun tengah mempersiapkan 5 jilid kelanjutannya. Menggambar, membuat komik, rupanya sudah menjadi jalan hidup bagi Hans. Kedua putrinya, bahkan berhasil ia sekolahkan hingga perguruan tinggi dari penghasilan berkomik.
Dunia komik, telah menjadi bagian dari hidupnya. Karena itu ia tak rela, jika komik lokal tergusur dengan kehadiran komik impor. Ia masih menaruh harapan besar, suatu hari kelak, komik lokal kembali berjaya di negerinya sendiri.(Ijs)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment