Ida Nurhayati : Saya Sedih Banget
Jika saja pada Kamis, 30 Juni 2005, Ida Nurhayati tidak menaiki kereta rangkaian listrik (KRL) dari Bogor menuju Jakarta, mungkin Retno Kartika Dewi, tidak akan lahir sebelum waktunya. Retno mungkin akan dilahirkan dengan sehat, tidak menderita gangguan paru-paru yang akhirnya membawanya kembali pada Sang Khalik.
Retno Kartika Dewi, adalah cerita sedih dari sisa peristiwa tabrakan dua rangkaian kereta api listrik yang terjadi di wilayah Poltangen, Pasar Minggu, Jakarta Selatan pukul 17.00 WIB.
Di hari yang nahas itu, Ida, bersama suaminya Slamet, dan 2 anak mereka, Hesti dan Aditya, berangkat dari Bogor, Jawa Barat, menuju Jakarta. Keluarga ini hendak membeli ikan ke Muara Angke, Jakarta Barat, untuk dijual esok harinya. Ida sehari-hari memang berjualan ikan keliling di kawasan rumahnya di Bojonggede, Bogor. Tidak seperti biasa, kali ini kedua anak mereka Aditya dan Hesti ikut karena ingin berjalan-jalan mengisi liburan sekolah.
Tak dinyana, kereta api yang mereka tumpangi mengalami peristiwa tragis. Tiga KRL yang berada di rel yang sama mengalami tabrakan, yaitu KA Express Pakuan nomor 221, KRL 585, dan KRL ekonomi nomor 583. Tabrakan itu terjadi ketika KA Pakuan berhenti 500 meter sebelum Stasiun Pasar Minggu. KRL 585 yang ada di belakangnya otomatis menghentikan lajunya karena Pakuan berhenti. Tapi malang, KRL 585 justru ditabrak oleh KRL 583.
Saat tabrakan, Ida sekeluarga yang menumpang KRL 583 berada di gerbong depan. Ida yang saat itu mengandung bayi berumur 8 bulan, pun terlempar bahkan kalau saja ia tak menjerit, "Pak, saya hamil", mungkin saja perutnya yang membesar tergencet orang lain. Akibat tabrakan itu ketuban kandungannya pecah akibat benturan keras. Ida pun terpaksa menjalani operasi cesar untuk menyelamatkan bayi dalam kandungannya.
Ida pun berhasil melahirkan bayinya dengan selamat. Bayi perempuan cantik, yang sudah lama ditunggu-tunggu itu diberi nama Retno Kartika Dewa. Namun karena lahir prematur, Retno harus dirawat dalam inkubator karena kesulitan pernapasan.
Namun selama tiga hari menjalani perawatan intensif di Ruang Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Salemba, Jakarta Pusat, bayi mungil ini tidak dapat bertahan hidup. Ia pun meninggal dunia. Isak tangis Slamet, sang ayah, mengiringi kepergian putri bungsu tercintanya.
Berat terasa didada Slamet. Bagaimana tidak, istri dan dua anaknya, Hesti dan Aditya masih terbaring lemah di Rumah Sakit Siaga Raya, Pasarminggu, ia harus menyaksikan buah hatinya meregang nyawa. Tak kalah beratnya adalah duka yang dirasakan Ida Nurhayati, saat sang bayi merah tersebut dibawa kepangkuannya untuk dilihatnya terakhir kali.
"Saya sedih sekali. Sejak dilahirkan Retno baru tiga kali saya lihat, trus langsung dibawa ke RSCM," ujarnya kepada para wartawan yang menanyakan perasaan dukanya.
Jenazah Retno Kartika Dewi, pun dimakamkan di kampung halaman orang tuanya, Desa Sudimampir, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jabar. Meski kondisinya belum pulih, Ida yang selalu terisak sempat menggendong jenazah anaknya ke pemakaman.
Retno telah pergi. Duka Slamet, Ida, Hesti dan Aditya, tak mungkin terbayar selamanya. Bahkan oleh segepok uang pengganti atau asuransi atas karcis yang mereka miliki, seperti yang tertera di karcis jika penumpang mengalami kecelakaan.
Uang bukan segalanya. Tapi Slamet dan keluarganya berharap, peristiwa yang mereka alami tak akan terjadi lagi. Bukan sekedar omongan pembenahan kereta api di berbagai media massa, tapi tindakan nyata demi kenyamanan dan keamanan penumpang.(Idh)
No comments:
Post a Comment